ISU-ISU KOTEMPORER PENDIDIKAN ISLAM
DAN MULTIKULTURALISME
DOSEN PENGAMPU: PROF. DR. SYAMSUL
ARIFIN, M.Si
OLEH : MUHAMMAD SYARIF
NIM : 201010290211003
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Pendahuluan
Mempelajari
filsafat pendidikan Islam berarti memasuki wilayah yang membahas suatu bentuk
pemikiran yang mendasar, sistematis, logis, dan universal tentang pendidikan
yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan agama Islam, melainkan
kita dituntut untuk mampu mempelajari ilmu-ilmu yang relevan dengan ilmu
tersebut. Melakukan pemikiran filosof pada hakikatnya adalah usaha untuk
menggerakkan semua potensi psikologis manusia, seperti ; pikiran, kecerdasan,
kemauan, perasaan, ingatan serta pengamatan panca indera tentang gejala
kehidupan, terutama manusia dan alam sekitarnya (lingkungan pendidikan).
Filsafat pendidikan pada umumnya dan
filsafat pendidikan Islam pada khususnya, adalah bagian dari ilmu filsafat.
Maka dalam mempelajari filsafat, perlu memahami terlebih dahulu tentang
pengertian filsafat terutama dalam hubungannya dengan masalah pendidikan
(pendidikan Islam). Secara harfiah, filsafat berarti “cinta kepada ilmu” yang
berasal dari kata philo (cinta) dan sophos (ilmu/hikmah). Secara historis,
filsafat menjadi induk segala ilmu pengetahuan yang berkembang sejak zaman
Yunani kuno sampai zaman modern sekarang. Huzayyin Arifin (2010 : 3)
Bila dilihat dari fungsinya,
filasafat pendidikan Islam merupakan pemikiran mendasar yang melandasi dan
mengarahkan proses pelaksanaan pendidikan Islam itu sendiri. Oleh karena itu,
filsafat juga memberikan gambaran tentang sampai dimana proses tersebut dapat
direncanakan dan dalam ruang lingkup serta dimensi bagaimana proses tersebut
bisa dilaksanakan.
Dalam era keberagaman
(multicultural) seperti sekarang ini, sangat diperlukan sekali adanya kebijakan
re-orientasi (konsepsi masyarakat madani) dalam pembelajaran agama (pendidikan
Islam). Karena dengan konsepsi semacam itu, terutama melalui proses
pembelajaran yang berlangsung dalam institusi formal, apa yang dipandang mutlak
dalam agama akan dibakukan atau diobjektivitasikan yang akan mampu
mempertahankan keaslian doktrin yang berkaitan dengan kemutlakan, dan mampu
untuk memperkaya khazanah epistemologi keagamaan, yakni lahirnya ilmu-ilmu
keagamaan yang secara sosiologisnya
mempermudah dan memperkokoh ikatan primordial komunitas beragama.
Sesuai dengan fungsinya tersebut,
filsafat pendidikan Islam juga bertugas melakukan kritik-kritik tentang
medote-metode yang digunakan dalam proses pendidikan Islam serta memberikan
pengarahan mendasar tentang bagaimana metode tersebut harus didayagunakan agar
tercipta lingkungan sekolah yang kondusif dan sadar akan keberagaman, serta
mampu melahirkan peserta didik yang betul-betul mempraktikkan nilai-nilai
Islam.
Akhir-akhir ini, kekerasan antar
kelompok yang terjadi secara sporadis diberbagai kawasan di Indonesia
menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun, betapa kentalnya
prasangka antar kelompok dan betapa rendahnya sikap saling pengertian
mengakibatkan bertambahnya kompleksitas persoalan keragaman dan hubungan antar
kelompok dan tidak menutup kemungkinan, persoalan-persoalan ini akan berimbas
kepada peserta didik (yang mengambil contoh) bisa memicu terjadinya
konflik-konflik kecil seperti percekcokan sampai pada perkelahian antar pelajar
(homogen) yang bisa berimbas kepada masyarakat luas.
Dalam konteks itulah wacana
multikulturalisme melalui pendekatan filsafat dijadikan sebagai sarana untuk
membangun toleransi atas keragaman yang ada. Karena telah diketahui bersama,
asas filsafat adalah membimbing dan memberi arah kesemua asas pendidikan
lainnya dan menyelaraskannya. Hal ini terjadi karena filsafat memiliki karakter
; (1) memiliki sekumpulan sikap dan
kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara kritis, (2) filsafat merupakan sebuah proses
kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi, (3) filsafat adalah usaha untuk
mendapatkan gambaran keseluruhan, (4)
filsafat ialah analisis logis dari bahasan dan penjelaan tentang arti konsep, (5) filsafat berisi sekumpulan
problema-problema yang langsung mendapat perhatian manusia dan dicarikan
jawabannya oleh ahli filsafat. Abuddin Nata (2009 : 99).
Dalam hubungannya dengan pendidikan,
filsafat bukan hanya memberikan sumbangan berupa prinsip-prinsip berpikir
filosofis dalam memecahkan berbagai masalah pendidikan, melainkan juga terdapat
aspek-aspek filsafat lainnya yang dapat digunakan dalam membantu merumuskan
masalah pendidikan, terutama pada aspek yang menjadi pokok bahasan filsafat itu
sendiri, yakni logika, estetika, etika, politik, metafisika, realitas,
pengetahuan, nilai, Tuhan, manusia, alam, dan sebagainya. Hasil pemikiran
filsafat tentang berbagai masalah, dengan karakteristiknya sangat dibutuhkan
oleh dunia pendidikan (pendidikan Islam).
Multikulturalisme
Istilah multikulturalisme diambil dari kata “multicultural” menjadi “multiculturalisme”, sebuah istilah yang
digunakan oleh masyarakat Kanada pada sektar tahun 1950-an. Kata “multicultural” juga menurut Kymlicka
yang dikutip Fahri Hamzah (2011 : 117), seringkali digunakan dalam arti yang
lebih luas. Namun istilah tersebut tetap menekankan pada konsep tentang
sejumlah kelompok sosial nonetnis, yang karena berbagai alasan, dikucilkan atau
dikesampingkan dalam aliran utama masyarakat. Kymlicka menekankan pengucilan
dan pengesampingan itu sebagai fenomena yang tampak dalam masyarakat modern,
dimana multikulturlisme yang direpresentasikan dengan adanya kelompok budaya
minoritas yang menuntut pengakuan atas identitas mereka serta diterima
perbedaan budaya mereka, hadir sebagai tantangan bagi masyarakat modern.
Multikulturalisme
menurut Donny Gahral Adian yang dikutip Fahri, pada dasarnya dapat dipahami ke
dalam pelbagai pemahaman. Antara lainnya ; pertama,
pemahaman politis. Kalangan politisi memahami multikulturaisme sebagai
majemuknya masyarakat secara cultural yang menimbulkan pelbagai persoalan
sosial yang menuntut kebijakan-kebijakan tertentu (pengetatan imigrasi,
pendataan, sampai program asimilasi). Kedua,
pemahaman akademis. Pemahaman akademis multikulturalisme mendasarkan diri pada
filsafat postmodernisme dan cultural
studies yang menekankan prinsip paralogisme di atas monologisme, kemajuan
diatas kesatuan. Selain itu, isu-isu multikulturalisme yang menjadi
perbincangan akademis antara lain : konsep budaya, relasi budaya dan politik,
hak minoritas, kritik liberalisme, toleransi, dan solidaritas.
Berdasarkan
pada pemahaman tersebut sangat jelas
sekali, bahwa masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mampu
mengedepankan adanya berbagai keragaman budaya dalam lingkungan masyarakat luas
dan meyakini bahwa keragaman tersebut merupakan suatu keniscayaan yang telah
menjadi sunatullah yang tidak bisa diingkari dan perlu adanya sebuah konsensus
untuk bisa melayani aspirasi dan hak-hak dari masing-masing anggota masyarakat.
Karena justru dalam keragaman itulah tekandung nilai-nilai yang penting bagi
pembangunan eksistensi manusia, sesuai dengan
apa yang telah disuratkan oleh Allah SWT. Dalam Q.S. Al-Nisa’ : 1 dan
Q.S. Al-Rum : 22.
Senada
dengan hal tersebut, Yasraf Amir Pialang menafikkan adanya masyarakat yang
multicultural pluralis, karena menurutnya masyarakat yang demikian dapat
menjerumuskan kepada sifat balkanisasi kebudayaan. Dan menawarkan paradigma
baru yaitu multicultural transformatif. Karena menurutnya, dengan multikultural
transformatif sebuah masyarakat diarahkan untuk menemukan ruang hidupnya lewat
pekembangan berbagai subkultur, sehingga tidak lagi berlandaskan pada sebuah
sentiment kesukuan, kedaerahan, atau keagamaan (primordialisme) secara kaku. (Fahri Hamzah : 2011 : 120).
Dalam
konteks keragaman , keberagamaan seorang multikulturalis dalam keragaman
menjadi sangat penting. Karena apapun organisasi keberagamaannya maupun
afiliasi organisasi manapun yang menjadi pendiriannya, cenderung tidak melihat
dan mengedepankan masalah keagamaan dan nonkeagamaan secara hitam putih, benar
atau salah, murni atau tidak murni, melainkan memandang dan memaknai suatu
masyarakat sebagai bentuk adanya relativisme budaya. Hal ini, memakai istilah
Fahri Hamzah, bahwa seorang multikulturalis tidak beragama secara
mutlak-mutlakan, atau paling tidak seorang multikulturalis tidak mengklaim
kebenaran yang dianutnya sebagai relatively
absolute.
Senada
dengan hal itu, Marc Howard Ross yang dikutip Fahri Hamzah menyatakan
masyarakat multikulturalime sering kali juga dimaknai sebagai bentuk masyarakat
yang meyakini adanya relativisme budaya, yang pada titik radikalnya (radical status) akan bermakna sebagai
paham atas absolutisme budaya. Keanekaan budaya yang masing-masing duduk sama
rendah berdiri sama tinggi ini merupakan konsistensi yang disodorkan oleh
multikulturalisme. Pada tingkat praktis, masyarakat multikultural juga menunjuk
kemungkinan “penyesuaian budaya” atau “dialog budaya” dalam pengalaman
individual maupun kelompok.
Pendidikan
Islam
Pendidikan
Islam adalah studi tentang proses kependidikan yang bertujuan untuk membentuk
pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik berbentuk
jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap
pribadi manusia dengan Allah, manusia dan alam semesta.
Lebih
lanjut, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat
(1) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.
Dalam
perspektif Islam, potensi diri manusia tersebut diistilahkan dengan fitrah
manusia. Dengan demikian, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mampu mengembangkan potensi dirinya.
Bertolak
dari pandangan Islam tentang manusia tersebut, menurut Muhammad Tolchah Hasan
yang dikutip Muhaimin, upaya pendidikan disamping berusaha untuk mengembangkan
potensi-potensi fithrah manusia, juga berusaha menyelamatkan dan melindungi
fitrah manusia, serta menyelaraskan fitrah mukhalafah dan fitrah munazzalah
dalam semua aspek kehidupannya.
Pada
umumnya, Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia
tersebut, juga harus dilakukan secara langsung dan bertahap, karena kematangan
dan optimalnya perkembangan dan pertumbuhan peserta didik berlangsung melalui
proses demi proses kearah tujuan secara bertahap dan terus menerus (kontiunitas).
Suatu proses yang diinginkan dalam usaha kependidikan sebagaimana dimaksud
adalah proses yang terarah dan bertujuan, yakni usaha untuk mengarahkan peserta
didik kepada arah yang optimal sesuai dengan kemampuannya, dengan tujuan yang
hendak dicapai yaitu terbentuknya kepribadian peserta didik yang utuh dan
mantap sebagai manusia yang taat.
Dari
kalangan pemikir Islam sebagai pemerhati pendidkan terutama pendidikan Islam,
memberikan definisi pendidikan Islam secara bervariasi. Antara lain:
1. Prof. Dr. Omar Muhammad Al-Tauny
al-Syaebani memberikan definisi, bahwa pendidikan Islam diartikan sebagai usaha
mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan
kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses
kependidikan… perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islam. (Muzayyin Arifin, 2010 : 15).
Jadi, kalau kita bawa ke lingkungan
institusi formal seperti sekolah, dari devinisi tersebut dapat dirumuskan,
bagaimana kiat dan usaha para pendidik itu sendiri bisa memoles peserta didik agar mampu mengenal siapa dirinya, dan
bagaimana dia mampu mengaplikasikan pengetahuan yang didapatnya untuk
menyeimbangkan tingkah lakunya dengan lingkungan masyarakat dan alam sekitarnya
dengan nilai-nilai yang baik (Islam).
2. Lebih terperinci, Zarkowi Soejoeti
yang dikutip Ngainun Naim & Achmad Sauqi (2010 : 32), memberikan beberapa
pengertian pendidikan Islam, antara lain; Pertama, jenis pendidikan dan penyelenggaraannya
didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai
Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya maupun dalam kegiatan-kegiatan
yang diselenggarakannya. Kedua, jenis
pendidikan yang memberikan perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam
sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakannya. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup
kedua pengertian di atas. Dalam hal ini,
Islam ditempatkan sebagai sumber nilai dan sebagai bidang studi yang ditawarkan
melalui program studi yang diselenggarakan.
Dari
ketiga pengertian pada poin dua di atas, dapat dipahami bahwa persoalan
pendidikan Islam bukan saja mengenai ciri khas suatu lembaga maupun memasukan
pelajaran agama sebagai bidang studi “baku” dalam kurikulum, melainkan
bagaimana pendidikan Islam yang menyangkut hal fundamental dan urgensi bagi
peserta didik bisa mengarah ketujuan yang diinginkan dan diyakini sebagai
paling ideal. Atau dalam pembahasan filsafatnya dapat diistilahkan sebagai
peserta didik yang “insan kamil”.
Jadi,
pendidikan memiliki kaitan erat
dengan setiap perubahan peseta didik,
baik menyangkut kognitif, afektif,
maupun psikomotorik. Untuk itu, dalam
kerangka fungsional seperti itu, pendidikan Islam harus diletakkan dalam posisi
yang tepat, yakni diposisikan dalam kerangka pengembangan akal sehat secara
kritis dan kreatif. Karena hal ini merupakan bentuk pemahaman dan pengamalan
ajaran Islam itu sendiri. Disinilah nantinya diharapkan muncul seperangkat
nilai dan norma yang terlembagakan dalam hukum obyektif maupun tradisi yang
menjadi control social kearah perkembangan masyarakat yang utuh.
Lebih
lanjut, pendidikan Islam di sekolah pada dasarnya berusaha untuk bagaimana
membina sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik itu sendiri, yang tidak
hanya difokuskan pada aspek pemahaman (tentang agama) semata, tetapi bagaimana
usaha pendidikan agama (Islam) mampu menanamkan perilaku khalq dan khuluqnya,
dengan mengetahui ajaran agama (knowing),
kemudian mempraktekkan tentang apa yang diketahuinya (doing), dan mampu beragama atau menjalani hidup atas dasar ajaran
dan nilai-nilai agama (being).
Muhaimin (2009 : 306)
Pendidikan
Islam dengan pendekatan filsafat
Pendidikan merupakan salah satu
bentuk ilmu terapan (appliet), tempat
bertemunya hasil-hasil berbagai asas filsafat membimbing dan memberi arah
kepada semua asas pendidikan lainnya dan menyelaraskannya. Hal ini karena
filsafat merupakan bidang garapan ilmu yang memiliki berbagai karakter, seperti
menurut Jalaluddin dan Said dalam Abudin
Nata (2009), antara lain ; (1) filsafat memiliki sekumpulan sikap
dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara
kritis, (2) filsafat merupakan sebuah
proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung
tinggi, (3) filsafat adalah usaha
untuk mendapatkan gambaran keseluruhan, (4)
filsafat ialah analisis logis dari bahasan dan penjelaan tentang arti konsep, (5) filsafat berisi sekumpulan
problema-problema yang langsung mendapat perhatian manusia dan dicarikan
jawabannya oleh ahli filsafat.
Lebih lanjut, Imam Barnadib dalam
Abuddin Nata (2009) menyatakan bahwa filsafat juga memiliki karakter-karakter
sebagai ciri khasnya. Antara lain ;
(1) bahwa filsafat memiliki pandangan
yang menyeluruh dan sistematis. (2)
filsafat juga mengedepankan berpikir secara sadar, teliti, dan teratur sesuai
dengan hukum-hukum yang ada.
Dari karakter-karakter filsafat
sebagaimana tersebut di atas, maka pendekatan dengan filsafat sangat tepat
kiranya untuk menjawab semua isu-isu keragaman akhir-akhir ini. Sebab, dengan
hal seperti itu manusia (peserta didik) bukan hanya meyakini wahyu yang
diturunkan dengan mendalaminya secara tekstual saja tanpa membarenginya dengan
kajian yang kritis dan pantas berdasarkan fakta-fakta yang ada di lingkungan sekelilingnya.
Dalam hubungannya dengan pendidikan,
filsafat bukan hanya sekedar memberikan sumbangan berupa prinsip berpikir
filosofis dalam memecahkan berbagai masalah, melainkan juga terdapat
aspek-aspek filsafat lainnya yang dapat digunakan dalam membantu merumuskan
masalah pendidikan, terutama pada aspek yang menjadi pokok bahasan filsafat itu
sendiri, yaitu; logika, estetika, etika, politik, metafisika, realitas,
pengetahuan, nilai, Tuhan, manusia, masyarakat, alam, dan sebagainya.
Jadi sangatlah jelas, bahwa dengan
memahami serta menerapkan aspek-aspek
tersebut, peserta didik akan mampu mengenal lebih jauh lagi tentang eksistensi
dan tujuannya diciptakan, dan secara sekaligus akan cakap dalam kognitif, afektif serta psikomotor.
Jalaluddin & Abdullah memberikan
penjelasan bahwa hasil pemikiran filsafat tentang berbagai masalah dengan
karakteristiknya sangat dibutuhkan oleh pendidikan, mengingat apa yang menjadi
obyek filsafat juga menjadi obyek pendidikan.
Dengan demikian, hubungan antara
filsafat dan pendidikan sangat erat. Kuatnya hubungan tersebut disebabkan
karena kedua disiplin ilmu tersebut meghadapi problema-problema filsafat secara
bersama-sama. Imam Barnadib sebagaimana dikutip, lebih lanjut mengatakan, bahwa
hasil pemikiran filsafat tentang berbagai hal tersebut dapat digunakan dengan
baik. Hal yang penting lainnya adalah bahwa dalam menyelenggarakan pendidikan
perlu diketahui tentang pandangan dunia (world
vieuw) terhadap pendidikan yang diperlukan masyarakat pada masanya.
Pengetahuan tentang pandangan dunia ini termasuk kajian metafisika dalam
filsafat. Demikian pula dengan keberadaan kajian tentang epistemologi,
aksiologi, dan logika yang terdapat dalam filsafat amat diperlukan bagi
pengembangan ilmu pendidikan (Abuddin
Nata, 2009 : 101).
Pendidikan Multikultural
Pendidikan
Islam memang merupakan suatu upaya pendidikan dan ajaran nilai-nilai Islam
menjadi way of life seseorang. Namun
demikian. Sebagai pandangan dan sikap hidup, nilai-nilai tersebut akan bisa
berimplikasi positif maupun negatif, sebab penanaman konsep nilai semacam itu
berpotensi mewujudkan pada sikap integrasi atau disintrgrasi, berpotensi
mengarah pada sikap toleran atau intoleran. Fenomena-fenomena tersebut tidak
menutup kemungkinan akan banyak ditentukan setidaknya oleh pandangan teologi agama dan doktrin
ajarannya; sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayatai agama
tersebut; lingkungan sosio-kultural yang mengelilinginya; dan peranan dan
pengaruh pemuka agama, termasuk guru agama, dalam mengarahkan pengikutnya (Muhaimin,
2009 : 46)
Fenomena-fenomena tersebut akan
muncul apabila pandangan teologi agama dan ajaran yang dipegangi bersifat
ekstrim, dibarengi dengan model pemahaman dan penghayatan agama yang simbolik,
tekstual dan scriptural,karena penjelasan-penjelasan dan arahan dari para guru
agama yang bersifat doktriner, rigid dan
mengembangkan sikap fanatisme buta serta dukungan oleh lingkungan
sosio-kultural yang eksklusif, maka bisa jadi akan melahirkan sikap-sikap intoleran
dan agama diposisikan sebagai faktor diintegratif atau intoleransi.
Dalam rangka merespons tantangan
dunia pendidikan tersebut, maka pengembangan pendidikan sangatlah tepat apabila
bisa diterapkan dalam dunia pendidikan (lembaga sekolah). Karena pendidikan multicultural
sebagaimana disebutkan Ainurrafik Dawam, yakni proses pengembangan seluruh
potensi manusia yang menghadapi pluralitas dan heterogenitanya sebagai
konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama) (Ngainun Naim
& Achmad Sauqi, : 2010 : 50).
Dengan demikian, pendidikan seperti itu, peserta didik
diharapkan memiliki rasa hormat dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap
harkat dan martabat manusia tanpa memandang latar belakang kehidupannya.
Secara terperinci, ada beberapa
aspek yang dapat dikembangkan dari konsep pendidikan Islam
pluralis-multikultural tersebut, antara lain : pertama, pendidikan Islam pluralis-multikultural adalah pendidikan
yang menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman. Kedua, pendidikan pluralis-multikultural merupakan sebuah usaha
sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran anak didik
terhadap realita pluralis-multikultural yang ada. Ketiga, pendidikan pluralis-multikultural memberikan kesempatan
untuk tumbuh dan berkembangnya sense of
self kepada setiap anak didik (Ngainun
Naim & Achmad Sauqi, : 2010 : 54).
Dengan demikian, pendidikan Islam
pluralis-multikultural akan mampu menumbuhkan kearifan berpikir anak didik
dalam melihat segala bentuk perbedaan, dan anak didik dengan leluasa
memposisikan dirinya untuk mengapresiasikan potensi dan karakter yang
dimilikinya.
Lebih lanjut, selain ketiga aspek
tersebut menurut A. Malik Fadjar pendidikan Islam perlu untuk dikembangkan lagi
ke arah : (1) pendidikan Islam Multikulturalis, yakni pendidikan Islam dikemas
dalam watak multicultural, ramah menyapa pebedaan budaya, social dan agama; (2)
mempertegas misi penyempurnaan akhlak (liutammima
makarimalakhlak); dan (3) spiritual watak kebangsaan, termasuk
spiritualisasi berbagai aturan hidup untuk membangun bangsa yang beradab (Muhaimin,
2009 : 47).
Untuk mewujudkan upaya-upaya tersebut,
diharapkan kepada guru selaku pendidik untuk mau berusaha meningkatkan,
memperkuat serta memperluas wawasan keislaman peserta didik, karena dengan
keluasan wawasan keislaman tentang
keberagaman, akan berimplikasi pada sikap husnudzan serta akan memiliki akhlakul karimah, baik terhadap
sesama agama maupun kepada orang lain.
Penutup
Kesimpulan
1. masyarakat multikulturalisme
merupakan masyarakat yang mampu mengedepankan adanya berbagai keragaman budaya
dalam lingkungan masyarakat luas dan meyakini bahwa keragaman tersebut
merupakan suatu keniscayaan yang telah menjadi sunatullah yang tidak bisa
diingkari.
2. Paradigma multikultural
transformatif merupakan pandangan atau usaha yang bisa mengarahkan masyarakat untuk
menemukan ruang hidupnya lewat pekembangan berbagai subkultur, sehingga tidak
lagi berlandaskan pada sebuah sentiment kesukuan, kedaerahan, atau keagamaan
(primordialisme) secara kaku.
3. Pada umumnya, Pendidikan merupakan
bentuk usaha yang dilakukan untuk membina dan mengembangkan pribadi manusia (peserta
didik) secara langsung dan bertahap, karena kematangan dan optimalnya
perkembangan dan pertumbuhan peserta didik berlangsung melalui proses pendidikan.
4. antara filsafat dan pendidikan memiliki
hubungan yang sangat erat, karena apapun persoalan yang dihadapi ilmu
pendidikan yang menyangkut kajian
epistemologi, aksiologi, dan logika terdapat dalam filsafat.
5. Pendidikan Islam
pluralis-multikultural adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala
bentuk keragaman, dan sebuah bentuk usaha sistematis untuk membangun pengertian,
pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap realita pluralis-multikultural yang
ada.
6. Pendidikan Islam
pluralis-multikultural merupakan bentuk pendidikan yang bisa menumbuhkan
kearifan berpikir anak didik dalam melihat segala bentuk perbedaan, dan anak
didik dengan leluasa memposisikan dirinya untuk mengapresiasikan potensi dan karakter
yang dimilikinya.
7. Pendidikan Islam Multikulturalis, merupakan
bentuk pendidikan yang mempertegas adanya
misi penyempurnaan akhlak dalam Islam (liutammima
makarimalakhlak) yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Wallahu
‘alam bi shawwab.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Revisi),
Jakarta : Bumi Aksara, Cetakan Kelima, 2010.
Hamzah, Fahri, Negara, Pasar dan Rakyat: Pencarian Makna, Relevansi dan Tujuan, __
: Yayasan Faham Indonesia, Cetakan Kedua, 2011.
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen
Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, Jakarta : Rajawali
Pers, 2009.
Naim, Ngainun & Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural : Konsep dan
Aplikasi, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, Cetakan II, 2010.
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam Dengan : Pendekatan Multidisipliner Normatif
Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemen, Teknologi,
Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar